10 Oktober 2010

Sang Penceloteh

Terlahir dari sebuah Ibu yang penuh kasih, juga dari seorang Ayah yang berbudi baik. Tepat lahir kala seorang muadzin mengumandangkan Adzan Asar di Kota yang terkenal dengan Lumpia-nya. Lahir dengan sempurna tanpa ada cacat sedikitpun (Maha Suci Alloh). Begitu lahir, teriakanku membahana memenuhi ruang persalinan. Ayah mengharu sambil menahan air matanya. Beliau lah yang pertama kali memperkenalkan aku dengan kumandang Adzan. Berbarengan dengan suara sang Muadzin di Mushola di Rumah Sakit. Sementara, Ibu beberapa kali mengambil nafas, kelelahan karena telah berjuang melahirkan seorang bayi yang kelak diberi nama : ISWORO RIZQI.

Sebenarnya sebelum menamai Isworo rizqi, dulu aku hendak diberi nama sebaliknya – ‘Rizqi Isworo’. Namun setelah ada beberapa pertimbangan akhirnya nama yang sudah terancang berubah menjadi ISWORO RIZQI. Setahu saya nama ‘Isworo’ itu melanjutkan nama dari keturunan keluarga ayahku. Nama Eyang Kakung dari Ayah bernama ‘Ismail’. Eyang kakung adalah seorang Polisi. Beliau meninggal dunia ketika Ayahku masih kecil – sedang jumlah anak beliau adalah ‘lima’ – laki-laki semua. Pandawa Lima.

Sejak kecil aku dirawat oleh keluarga yang sederhana. Jauh dari kemewahan, jauh dari keangkuhan dunia. Ayah dan Ibu hanyalah pegawai PNS biasa dengan gaji yang tidak begitu tinggi. Bahkan dulu saat aku masih bayi dan dirawat dirumah sakit selama sebulan, ‘Budhe’ lah yang menjadi malaikat penolong bagi keluargaku. Budhe yang membayar semua biaya perawatanku kala aku masih disana. Sedang Ayah dan Ibu tidak mempunyai uang untuk menebusku dari Rumah Sakit.

Sejak kecil aku selalu ditinggal oleh Ayah dan Ibu bekerja. Maklumlah, kala itu Ayah dan Ibu begitu repot apabila aku bersama mereka mencari uang untuk hidup. Lalu aku dititipkan disebuah Kota yang sangat asri, sejuk, dan penuh dengan nuansa pedesaan. Kota itu adalah kota tempat Ibuku lahir, Magelang.
Aku dirawat oleh Eyang Kakung dan Eyang putri, Om, juga Budhe2 yang lain disana.

Hingga suatu ketika, ekonomi Ayah dan Ibu mulai berjalan bagus. Dan aku akhirnya diboyong kembali ke Semarang. Sebuah kota yang sampai sekarang menjadi saksi atas hidupku. Saksi hidup Sang Penceloteh yang hobi minum teh...

0 komentar:

Posting Komentar